Pengobatan dengan cara hemodialisis (cuci darah) untuk pasien gagal ginjal terminal (GGT) di Jawa Barat sudah dimulai sejak tahun 1984. Teknik pengobatan yang belum berkembang dengan baik serta keterbatasan jumlah mesin hemodialisis pada saat itu menyebabkan mahalnya biaya peng-obatan sehingga banyak pasien GGT meninggal dunia tanpa pernah mendapatkan kesempatan memperoleh perawatan de-ngan cara ini.
Hal itu tidak luput dari perhatian Ny. Sri Redjeki Chasa-nah Soedarsono, seorang ibu yang mendedikasikan hidupnya dalam bidang sosial. Kelahiran Parepare, 8 Oktober 1939 ini memiliki kepedulian yang tinggi kepada kaum yang kurang beruntung, seperti penyandang tunanetra, orang jompo, anak telantar, dan anak cacat. Meski kegiatan sosialnya begitu menyita waktu dan perhatiannya, bersama suami Mayjen (Purn) Soedarsono (alm.), anak keenam (dari delapan bersaudara) pasangan A.A. Habibie dan R.A. Habibie ini sukses mendi-dik anak-anaknya untuk menjadi insan yang berguna bagi masyarakat dan negara.
Di sisi lain, adalah seorang pria kelahiran Garut, 4 Januari 1938, yang lulus dari Fakultas Kedokteran Unpad tahun 1965 bernama Prof. Dr. H. Enday Sukandar, Sp.PD-KGH. Ketertarikannya pada ilmu penyakit dalam membawanya terus menggeluti bidang tersebut dan akhirnya gelar internis (spesialis penyakit dalam) diraihnya tahun 1972. Karena dedikasinya yang tinggi terhadap dunia pendidikan, beliau pun dikukuhkan sebagai Guru Besar di FK Unpad tahun 2002. Ide-ide dan penemuannya di bidang penyakit dalam banyak dituangkan di dalam berbagai tulisan dan sering menjadi pedoman ilmu kedokteran, khususnya di bidang penyakit ginjal dan hipertensi. Seperti halnya Ibu Sri Soedarsono, dalam rangka mengatasi permasalahan hemodialisis di Bandung dan Jawa Barat, Prof. Enday yang saat itu menjabat ketua tim praktisi medis untuk penyakit ginjal atau tim nefrologi, mengutus salah seorang anggotanya untuk mempelajari teknik pengobatan hemodialisis di Belanda.
Sementara itu, Dr. Rully M.A. Roesli adalah pria kelahir-an Solo, 23 Juli 1948, yang terpilih untuk memperdalam ilmu tentang hemodialisis di Belanda. Lulus dari FK Unpad tahun 1974, Rully meraih predikat dokter spesialis penyakit dalam pada 1985. Ia berupaya mencari dan membina hubungan de-ngan yayasan yang memberikan bantuan alat kesehatan di Belanda agar dapat membantu mengatasi masalah hemodialisis di Bandung dan Jabar. Dalam pada itu, ia juga berhasil menyelesaikan studi doktoral di University Instelingen Antwerpen, Belgia, dan mendapatkan gelar Ph.D. di bidang kedokteran.
Pada akhir 1987, upaya tim nefrologi membuahkan hasil positif. Keberhasilan Dr. Rully Roesli menguasai teknik hemodialisis mutakhir dan terbinanya jalinan kerja sama de-ngan yayasan-yayasan di Belanda adalah bukti hasil upaya tersebut. Di Belanda, selain berhasil mempelajari teknik hemodialisis, Dr. Rully juga sukses menjalin kerja sama dengan yayasan yang membantu perkembangan hemodialisis di negara berkembang, yaitu Stichting Dialysehulp voor Buitenland di Utrecht dan Stichting Thuisdialyse di Groningen. Yayasan-yayasan tersebut bersedia membantu perkembangan hemodialisis di Bandung dengan cara mengirim mesin-mesin hemodialisis secara cuma-cuma, berikut dukungan teknisi, perawat, serta berbagai perlengkapan medis lainnya.
Meski ada lembaga di Belanda yang siap membantu, upa-ya Dr. Rully pada awalnya tidak berjalan mulus. Penyebabnya ialah tidak adanya wadah di Indonesia yang dapat menampung aspirasi ini secara utuh, terutama dalam membantu pa-sien kurang mampu. Itulah yang menjadi rintangannya.
Pada tahun yang sama, sekelompok ibu yang tergabung dalam Yayasan Pembina Asuhan Bunda (YPAB) pimpinan Ibu Sri Soedarsono berkunjung ke Belanda. Saat itulah pertemuan antara Dr. Rully dan Ibu Sri Soedarsono terjadi. Setelah mendengarkan paparan dan penjelasan dari Dr. Rully, melalui wadah YPAB, akhirnya semua kendala yang menjadi hambatan tim nefrologi dapat diatasi di Bandung dan Jabar. Dalam pada itu, ia juga berhasil menyelesaikan studi doktoral di University Instelingen Antwerpen, Belgia, dan mendapatkan gelar Ph.D. di bidang kedokteran.
Pada akhir 1987, upaya tim nefrologi membuahkan hasil positif. Keberhasilan Dr. Rully Roesli menguasai teknik hemodialisis mutakhir dan terbinanya jalinan kerja sama de-ngan yayasan-yayasan di Belanda adalah bukti hasil upaya tersebut. Di Belanda, selain berhasil mempelajari teknik hemodialisis, Dr. Rully juga sukses menjalin kerja sama dengan yayasan yang membantu perkembangan hemodialisis di negara berkembang, yaitu Stichting Dialysehulp voor Buitenland di Utrecht dan Stichting Thuisdialyse di Groningen. Yayasan-yayasan tersebut bersedia membantu perkembangan hemodialisis di Bandung dengan cara mengirim mesin-mesin hemodialisis secara cuma-cuma, berikut dukungan teknisi, perawat, serta berbagai perlengkapan medis lainnya.
Meski ada lembaga di Belanda yang siap membantu, upaya Dr. Rully pada awalnya tidak berjalan mulus. Penyebabnya ialah tidak adanya wadah di Indonesia yang dapat menampung aspirasi ini secara utuh, terutama dalam membantu pa-sien kurang mampu. Itulah yang menjadi rintangannya.
Pada tahun yang sama, sekelompok ibu yang tergabung dalam Yayasan Pembina Asuhan Bunda (YPAB) pimpinan Ibu Sri Soedarsono berkunjung ke Belanda. Saat itulah pertemuan antara Dr. Rully dan Ibu Sri Soedarsono terjadi. Setelah mendengarkan paparan dan penjelasan dari Dr. Rully, melalui wadah YPAB, akhirnya semua kendala yang menjadi hambatan tim nefrologi dapat diatasi.
Pada tahun 1988, di bawah naungan YPAB Bandung yang bekerja sama dengan tim nefrologi pimpinan Dr. Enday Sukandar, berdirilah wadah untuk kegiatan hemodialisis di luar rumah sakit bernama Klinik Ginjal Bandung (KGB). KGB didirikan sebagai unjuk keprihatinan bahwa banyak pasien GGT yang meninggal tanpa pernah menikmati pengobatan hemodialisis. Seperti yang ditulis di bagian awal, kondisi ini terjadi, selain akibat mahalnya biaya hemodialisis, juga karena pengetahuan tentang hemodialisis yang masih terbatas.
Demikian sekilas sejarah pendirian RS ini.