Pada awalnya, sebagian besar kebudayaan dalam masyarakat awal menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal dan hewan untuk tindakan pengobatan. Ini sesuai dengan kepercayaan magis mereka yakni animisme, sihir, dan dewa-dewi. Masyarakat animisme percaya bahwa benda mati pun memiliki roh atau mempunyai hubungan dengan roh leluhur.
Ilmu kedokteran berangsur-angsur berkembang di berbagai tempat secara terpisah. Yakni Mesir kuno, Tiongkok kuno, India kuno, Yunani kuno, Persia, dan lainnya. Sekitar tahun 1400-an terjadi sebuah perubahan besar, yakni pendekatan ilmu kedokteran terhadap sains. Dikatakan perubahan besar karena memunculkan penolakan–karena tidak sesuai dengan fakta yang ada–terhadap berbagai hal yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh pada masa lalu yang mengaitkan proses pengobatan dengan hal-hal yang tidak sains.
Perkembangan zaman dan teknologi terus melejit. Melahirkan banyak cabang ilmu. Termasuk dalam dunia kedokteran. Satu diantaranya adalah Bagian Patologi Klinik. Di negara maju mungkin bidang ini relatif populer. Tapi bagaiamana dengan di Indonesia..? Tak banyak yang mengenalnya. Spesialis Bedah, Anak, Kulit dan Kelamin, Penyakit Dalam, Kandungan, Mata, THT, lebih mendominasi pengetahuan masyarakat, dibandingkan spesialis Patologi Klinik (Sp.PK). Padahal, Sp.PK berperan besar terhadap proses diagnosa dengan mengaplikasikan teknik laboratorium untuk menjadi rujukan dokter dalam melakukan terapi.
Berangkat dari minimnya pengetahuan masyarakat akan bagian ini, buku Berbagi Obat Kehidupan – Mengenal Patologi Klinik Indonesia dan Marsetio Donosepoetro menjadi salah satu jawabannya. Ide penulisan buku ini datang dari sejumlah pengurus di organisasi Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik (PDS Patklin) yang mengharapkan ada buku yang bercerita tentang dunia patologi klinik secara ‘semi ilmiah’ dengan bahasa yang populer. Tidak hanya itu, perlu juga dikemukakan tentang tokoh pionir pendidikan patologi klinik di Indonesia.
Buku ini menjadi penting karena masih sedikitnya referensi buku patologi klinik saat ini. Kebutuhan akan referensi tersebut terasa mendesak karena di saat keinginan untuk menambah jumlah ahli patologi klinik mencuat, sarana komunikasi yang tersedia untuk menjelaskan apa, mengapa, dan siapa saja yang berperan di bidang patologi klinik, dirasa masih terbatas.
Buku ini akan memberi warna dan rasa kepada siapa pun yang berprofesi di bidang patologi klinik dan cabang ilmu yang mendukungnya. Suatu ilmu akan terasa kering jika hanya membahas keasliannya. Namun, ia menjadi kaya warna dan kaya rasa jika mengetahui bagaimana digagasnya, seperti apa dikembangkannya, bagaimana menerapkannya, bagaimana mengambil sari patinya, bagaimana memanfaatkannya, apa tantangannya, dan sebagainya. Karena itulah buku ini hadir tidak hanya untuk mengenalkan dunia patologi klinik di Indonesia, tetapi juga tokoh yang ada atau menyetainya.
Ada empat tokoh yang menjadi pionir pengembangan patologi klinik di Indonesia, yaitu Prof. Dr. R. Gandasoebrata, Prof. Dr. dr. Marsetio Donosepoetro, Sp.PK(K), Prof. dr. R.M. Tedjo Baskoro, dan Prof. dr. Hardjoeno, Sp.PK(K). Mereka inilah yang menjadi ujung tombak lahirnya Program Pendidikan Spesialis Patologi Klinik di Indonesia dan mengembangkannya di universitasnya masing-masing. Uniknya, meskipun berjauhan, mereka saling mengisi, saling memperkuat, saling mendukung, dan saling menghormati satu sama lain, seolah-olah satu kesatuan yang tak mungkin terpisahkan. Prof. Gandasoebrata mengembangkan patologi klinik di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Prof. Marsetio di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof. Tedjo Baskoro di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dan Prof. Hardjoeno di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Sayangnya, sangat sedikit, bahkan hampir tak ada, literatur yang mengupas profil keempatnya dari sisi pribadi, perjuangan mereka dalam menegakkan keilmuan patologi klinik dan penerapannya di Indonesia, serta hal lainnya. Padahal seorang ahli patologi klinik berbeda dengan dokter pada umumnya. Dia adalah sosok yang plural dengan pengetahuan yang menembus banyak bidang. Para ahli patologi klinik sendiri merumuskan peran profesinya dengan cakupan tugas yang meliputi konsultan bagi dokter klinik, seorang komunikator, manajer, ilmuwan yang harus selalu meng-update pengetahuannya karena perkembangan teknologi kedokteran begitu cepat, dan seorang humanis karena dia menangani pasien bukan sebagai objek, melainkan seorang teman yang menghendaki kesembuhan.
Dari keempat tokoh itu, tiga di antaranya sudah tiada. Tinggal Prof. Marsetio, narasumber yang masih mungkin diminta keterangannya. Ada satu hal yang menonjol dari Prof. Marsetio, bahwa di dalam kehidupannya beliau adalah orang yang gemar berbagi ilmu, tanpa menunda-nunda, dan tanpa pamrih. Ternyata, setelah ditelusuri dan dipelajari, konsep berbagi ini adalah dasar ilmu patologi klinik juga. Seorang ahli patologi klinik memiliki tugas besar “berbagi” dengan dokter, pasien, dan pihak lain. Ia mendengar rujukan dokter, mendengar keluhan pasien, menganalisisnya, menyimpulkannya, dan menyampaikan hasilnya. Dan, dalam konsep kehidupan Prof. Marsetio, berbagi pengetahuan menjadi semacam “obat”, obat kebodohan, obat ketertinggalan, obat untuk mendorong kemajuan. Mengambil falsafah itu, maka buku ini penulis beri judul Berbagi Obat Kehidupan.
Mengapa kehidupan..? Karena ketokohan Prof. Marsetio mengalir tidak hanya pada dunia patologi klinik, tetapi juga pada bidang lain yang dijalaninya. Baik itu sebagai Rektor Universitas Airlangga (1980-1984) maupun Duta Besar RI untuk UNESCO, politisi dengan posisinya sebagai anggota DPR RI, tokoh Surabaya dan Jawa Timur, tokoh pendidikan, dan lain-lain. Itulah sebabnya, dalam buku ini kami juga mengupas sosok Prof. Marsetio dari aspek yang lain, dengan harapan bisa makin memberi warna dan pembelajaran bagi pembaca.
Buku ini ditulis dengan gaya jurnalistik modern, yakni disusun berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah narasumber kompeten plus dari bahan sekunder yang kredibel. Dua diantara narasumber tersebut yang memberikan pengakuan adalah orang non patologi klinik.
Dahlan Iskan, Menteri BUMN saat ini yang mengenal Prof. Marsetio saat ia masih merintis usaha Harian Jawa Pos di Jawa Timur memberikan komentar: “Ketika itu Jawa Timur hanya dikenal sebagai kota dagang, tidak intelektual, tidak berkesenian, tidak keilmuan juga. Kalau mau mewawancara masalah ekonomi, tak ada orang yang bisa diwawancara. Yang menonjol hanya bidang kedokteran, dan tokoh kedokterannya itu adalah Pak Marsetio. Dia mewakili lapisan intelektual teratas di Surabaya. Dari sisi sosoknya, ia sebagai elite intelektual Surabaya yang membangun dunia intelektualitas di Surabaya. Sebagai dokter, Pak Marsetio itu melebihi jangkauan profesi dokter. Ia sebagai lambang intelektual Surabaya yang menciptakan iklim intelektual di daerah yang (saat itu) sangat tidak intelektual”.
Komentar lain dari Hermawan Kartajaya, Ahli Marketing – President of World Marketing Association. Menurutnya: “Meski latar belakangnya sebagai dokter, ia tak melulu bicara masalah kedokteran. Wawasannya luas. Memang sering kali penguasaan dunia medisnya tak bisa dikesampingkan karena itulah keahliannya. Namun, dengan sedikit meramunya dengan ilmu lain, kerap Marsetio mampu memperkaya pemahaman suatu ilmu dengan ilmu kedokterannya. Sebagai rektor yang berhasil di Universitas Airlangga, namanya cukup bagus. Beliau bisa keluar dari kotaknya sebagai dokter kemudian mencoba memahami kotak-kotak orang lain. Makanya, tak berlebihan kalau dia menjadi pribadi yang “lengkap”, ya dokter, ya manajer, ya budayawan.”
Buku ini layak dibaca dan akan dikonsumsi oleh: