DIGITAL BUSINESS VALUATION

Buku “Digital Business Valuation” membahas variabel-variabel penting yang menentukan valuasi bisnis perusahaan digital. Masalah ini menjadi menarik karena ada beberapa startup Indonesia yang dalam waktu kurang dari 10 tahun sudah memiliki valuasi bisnis lebih dari Rp14 triliun. Padahal perusahaan-perusahaan konvensional harus berjibaku hingga berpuluh-puluh tahun, itu pun untuk mencapai Rp1 triliun.

Apa yang menyebabkan perusahaan startup digital itu cepat berkembang? Penulis buku ini melakukan penelitian yang mendalam soal peran Lingkungan Industri dan Aset Perusahaan digital terhadap Kemitraan Bisnis dan Inovasi Strategis yang mendorong naiknya Valuasi Bisnis perusahaan digital. Banyak yang menganggap aset perusahaan digital (termasuk startup) tidak begitu dominan saat perusahaan tersebut menjajaki kemitraan dengan perusahaan besar (investor), misalnya saat membutuhkan pendanaan. Ternyata, temuan penulis menunjukkan Aset Perusahaan merupakan aspek yang berperan lebih dominan dibandingkan Lingkungan Industri dalam mengembangkan Kemitraan Bisnis dan Inovasi Strategis. Apa yang bisa dilakukan perusahaan digital kelas startup agar bisa diperhitungkan investor? Aset apa yang harus diperhitungkan? Buku ini menjawabnya dengan sejumlah tips. 

Perkembangan industri digital sendiri begitu mencengangkan dalam dua dekade terakhir. Teknologi digital telah mengubah banyak hal. Tetapi perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau Information and Communications Technologies (ICT) telah membawa era digital mencapai puncaknya pada saat ini. Keadaan itu telah mendorong revolusi di berbagai bidang. Di bidang bisnis, ICT secara fundamental telah mengubah pola perusahaan dalam mengelola bisnisnya untuk meningkatkan keuntungan mereka secara masif. Untuk selanjutnya hal ini menciptakan lanskap industri yang makin kompetitif dan penuh dengan ketidakpastian.

Karena dominannya peran ICT, tantangan terbesar kalangan bisnis adalah bagaimana menyiasati perkembangan ICT agar bisa memanfaatkannya seoptimal mungkin. Saat ini sulit menemukan perusahaan yang tidak tersentuh ICT sehingga ICT makin lama makin menjadi ekosistem yang makin luas. Juga bisa dikatakan, konsumen dari berbagai jenis bisnis hampir sepenuhnya menjadi bagian dari ekosistem ICT. Dengan demikian bisa dibayangkan bagaimana besarnya perputaran bisnis di ekosistem ICT. Oleh karena itu selain bisnis yang yang tidak terhindarkan untuk memanfaatkan ICT, menjadi pelaku bisnis di bidang ICT (baik langsung maupun tidak langsung) merupakan hal yang makin menggiurkan.

Menurut Martin J. Fransman, ekonom dari University of Edinburg, Skotlandia, dalam buku The New ICT Ecosystem: Implications for Policy and Regulation, ekosistem ICT dapat dibedakan menjadi tiga lapis (layer) elemen. Lapis pertama adalah Equipment Provision yang diisi oleh perusahaan-perusahaan penyedia perangkat teknologi seperti Alcatel-Lucent, NEC dan Siemens. Lapis kedua adalah Network Operation yang didominasi oleh operator telekomunikasi seperti AT&T, France Telecom, dan Deutche Telecom di mana teknologi yang digunakannya meliputi telefoni, televisi (TV), dan internet. Sedangkan lapis ketiga adalah Internet Access, Navigation, Content Provision, dan Social Media seperti aplikasi Google dan Facebook.

Di dalam keterikatan itu terdapat hubungan simbiosis (symbiotic relationship) dari elemen yang ada dalam ekosistem ICT tersebut. Simbiosis ini setidaknya meliputi empat dimensi yaitu Financial Flow (arus jual-beli), Material Flow (arus barang), Information Flow (arus informasi), dan Input flow into Innovation Process (input untuk perbaikan/inovasi). Interaksi antar-elemen (dalam hal ini arus uang, arus barang, dan arus informasi) dapat menghasilkan lessons learned yang memicu perbaikan lebih lanjut dari keterhubungan elemen-elemen tersebut yang pada gilirannya memicu munculnya inovasi-inovasi baru. Dalam kaitan ini ekosistem ICT mengandung unsur kemitraan, inovasi, investasi, dan lingkungan bisnis di mana hubungan simbiosis terjadi di antara elemen tersebut.

Tentu saja muara dari semua itu adalah final consumer. Final consumer (masyarakat) ini tidak hanya berinteraksi dengan lapis (layer) ketiga untuk menjadi user dalam ekosistem ICT karena pada dasarnya masyarakat juga menjadi user untuk masing-masing lapis (layer) tersebut. Sebagai user lapis pertama, masyarakat membeli handset seluler, telepon rumah, komputer, dan sebagainya. Sebagai user lapis kedua, masyarakat menjadi pelanggan jaringan telekomunikasi dan internet (network operator). Sedangkan sebagai user lapis ketiga menjadi pengguna layanan yang ditawarkan industri yang bergerak di bidang over the top (OTT) seperti Facebook, Google, dan sebagainya, yang jumlahnya makin beragam.

Dengan makin terdigitalisasinya masyarakat global membuat penerimaan mereka terhadap inovasi-inovasi baru di bidang ICT menjadi makin tinggi. Industri berbasis Internet makin berkembang. Tentu saja ini menjadi peluang untuk mengembangkan inovasi seluas-luasnya dengan pendekatan yang beragam. Di satu sisi inovasi dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja, kenyamanan pengguna, dan sejenisnya, di sisi lain masih banyak masalah sosial yang membutuhkan inovasi-inovasi disruktif untuk mengatasinya. Bahkan, karena teknologi digital bisa memenuhi tuntutan dari hal kecil hingga yang besar, permasalahan sederhana pun bisa menjadi objek inovasi yang menantang. Implikasinya, semua pihak bisa berperan melahirkan inovasi berbasis digital yang membuat ruang bagi para startup begitu besar. Yang harus diperhatikan adalah, ide sederhana jika diterapkan untuk masyarakat dalam jumlah besar pada akhirnya melahirkan bisnis besar.

Berkembangnya startup seperti Go-Jek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka yang kini sudah menjadi startup Unicorn, menunjukkan bahwa ide sederhana mereka dalam membantu menyelesaikan permasalah umum di masyarakat, bisa menjadi bisnis yang menggiurkan. Tentu saja tidak hanya mereka yang bisa meraih keberhasilan itu, startup lain pun bisa mengikut jejaknya. Probelmnya adalah, faktor apa yang bisa mempengaruhi kesuksesan tersebut.

Melalui Witjara Digital Business Valuation Model yang diperoleh dari hasil penelitiannnya, penulis buku ini menemukan sejumlah variabel yang perlu diperhatikan kalangan bisnis digital dalam mengembangkan bisnisnya agar valuasi bisnis yang diharapkan bisa tercapai. Selain itu, model ini juga sudah diuji secara akademik yang mengantarkan penulis menjadi doktor bidang Ilmu Manajemen Bisnis dari Universitas Padjadjaran, Bandung, pada bulan Maret 2018, dengan predikat cum laude. Buku ini menampilkan saripati dari disertasinya ditambah update perkembangan teknologi digital dan penerapannya, serta tips untuk mengembangan bisnis digital. Karena itu buku ini menjadi referensi yang berharga.

Detail Buku

IDR 120.000,00

  • ISBN :
    978-602-5834-34-9
  • Jumlah Halaman :
    vi +454 Halaman
  • Tahun Terbit :
    2019
Play Store Google Book Beli Buku

Tentang Penulis

Dr. Edi Witjara ST., MH., CMA