Berangkat dari obrolan santai antara Gus Ahmad Rifqi Al Mubarok Wakil Sekjen GP Ansor dan Salim Shahab, Direktur Rayyana Publishing, tentang literasi, kami sepakat bahwa buku sebagai bagian dari literasi berperan besar dalam mendokumentasikan serta menjadi legacy terhadap apa pun yang akan memberi manfaat bagi banyak pihak. Saat ini, maupun masa depan.
Benar seperti dikatakan Imam Ghazali, sebaik-baik teman dalam setiap zaman adalah buku. Selama berabad-abad, buku menjadi jendela pengetahuan manusia. Melalui buku (salah satunya), akan terbuka pengetahuan tentang masa lalu, peradaban, dan budaya, serta ‘membaca’ serta memprediksi sekaligus perlu mengantisipasi dan menatap masa depan.
Namun, dalam diskusi itu, kita menyadari bahwa buku makin ditinggalkan. Sudah jarang yang menjadikan buku sebagai teman terbaik. Bahkan dianggap teman yang membosankan, tidak asyik, dan memberatkan. Kita lantas sepakat untuk tidak mencari kambing hitam atas keadaan ini. Kami yakin, pada saatnya keadaan akan berbalik. Mentalitas masyarakat akan kembali sadar bahwa buku adalah pusaka ampuh bagi kehidupan. Semangat kami makin memuncak ketika memandang secara filosofis bahwa buku juga menjadi salah satu alat untuk mencapai tujuan negara yang disampaikan dalam pembukaan UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Berangkat dari obrolan itu, di samping kekhawatiran tentang ancaman disintegrasi bangsa karena bombardir paham intoleran dan takfiri yang berbading terbalik dengan gelora moderasi beragama, sembari meneropong sepak terjang Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) sejak kecil, muncullah ide untuk menuliskan buku ini.
Dalam penelusuran kami, sesungguhnya, banyak tokoh yang getol mengkampanyekan moderasi beragama. Namun berbeda dengan Gus Yaqut. Ia tokoh penegak moderasi beragama yang memiliki gerbong besar, yakni Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan barisan ‘paramiliter’-nya, Banser. Keberadaan organisasi ini menjadi penting karena mereka yang anti- moderasi didukung massa yang banyak yang sering kali melakukan demo yang mengganggu ketertiban umum.
Gus Yaqut beserta GP Ansor dan Banser merupakan benteng yang tangguh. Ia dan organisasinya sering berhadap-hadapan baik secara ide maupun gerakan massa dengan kaum intoleran dan radikal yang juga sering melakukan provokasi verbal dan gerakan massa jalanan. Bahkan mereka juga sangat ‘berisik’ di dunia digital. Dalam kurun waktu antara 2015 hingga 2019, sosok Gus Yaqut menjadi pusat perhatian nasional. Banyak tindakan yang dilakukannya untuk menunjukkan betapa ia dan GP Ansor berprinsip tegas: Menjaga 4 Pilar Bangsa yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam seruannya kepada kader GP Ansor dan Banser, ia mengajak untuk tidak takut menghadapi kaum intoleran yang mengganggu 4 Pilar Bangsa.
Sikap demikian tentunya memiliki risiko besar. Selain fisik, juga kerap dicap kafir. Misalnya, saat Banser menjaga gereja pada saat perayaan Natal, oleh kelompok radikal kerap dianggap kafir. Gus Yaqut menyebut bahwa apa yang dilakukan Ansor dan Banser saat menjaga gereja itu pada hakikatnya bukan menjaga gereja, melainkan menjaga komponen bangsa yang pernah bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Episode Gus Yaqut yang fenomenal tidak hanya saat memimpin GP Ansor. Banyak yang terkejut ketika pada 22 Desember 2020, Presiden Joko Widodo mengangkatnya menjadi Menteri Agama. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan, kenapa mesti Gus Yaqut yang menjadi Menag, kenapa bukan tokoh agama yang “lebih tua” atau “sudah tua” yang memiliki kematangan usia dan pengalaman serta ‘pengetahuan agama yang mumpuni’. Tapi Presiden pasti punya pertimbangan, bahwa mungkin situasi saat ini memang membutuhkan Menag sekaliber Gus Yaqut.
Apa yang dilakukan Gus Yaqut sebagai Menteri Agama RI? Tidak jauh berbeda dengan saat memimpin GP Ansor. Bahwa panji melawan kaum intoleransi dan radikal tetap dikibarkan tinggi-tinggi yang menjadi salah satu prioritas kerjanya sebagai Menag.
Sosok Gus Yaqut adalah sosok yang kaya dengan ide-ide berani untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan NKRI. Tentu tidak cukup memahami keberanian dan gagasannya dengan hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut. Karena itu, seperti disampaikan di awal, kami kemudian mengembangkan ide menuliskan buku memoar tentang Gus Yaqut. Ketika melakukan sounding terbatas kepada sejumlah kalangan, ternyata ide itu mendapat dukungan besar baik dari keluarga Gus Yaqut maupun sahabat-sahabatnya. Hanya saja, ada keyakinan sekaligus keraguan, seandainya ide itu disampaikan ke Gus Yaqut sendiri, Gus Yaqut akan menolak. Kami tahu Gus Yaqut adalah tokoh yang tidak gila publikasi.
Lalu kenapa kami tetap menerbitkan buku ini? Pertama, buku ini kami susun sebagai ucapan terima kasih kepada Gus Yaqut yang telah memberikan motivasi, inspirasi, pembelajaran tentang banyak hal. Kedua, sosok Gus Yaqut sendiri sangat inspiratif. Sayang jika kawan dekatnya saja yang tahu sepak- terjang dan silsilahnya. Untuk itu, secara “incognito” kami melakukan gerilya wawancara dengan ibunda Gus Yaqut, Hj. Muchsinah yang kami panggil Mbah Nyai, untuk mengetahui bagaimana masa kecil Gus Yaqut hingga tumbuh menjadi tokoh seperti sekarang ini. Kemudian mewawancarai istri beliau, Mbak Eny Yaqut, dan sejumlah kawan dekatnya. Untuk semua narasumber, kami ucapkan banyak terima kasih. Semua yang kami lakukan tanpa sepengetahuan Gus Yaqut. Begitupun dalam tahap penyusunannya. Kami berharap buku ini akan terbit dan diserahkan sebagai Hadiah Ulang Tahun seorang Yaqut Cholil Qoumas ke-48, pada 4 Januari 2023. Oleh karena itu buku ini pun kami susun sepanjang 48 bab.
Semoga buku ini berkenan bagi Gus Yaqut dan juga memberi inspirasi bagi para pembacanya. Kami yakin apa yang sudah dilakukan Gus Yaqut beserta ide-ide dan visinya ke depan, akan bermanfaat bagi negeri tercinta kita: Indonesia. Aamiin.
Jakarta, 4 Januari 2023,
Rayyana Publishing & Tim Ansor Channel