PALU DAN GODAM MELAWAN KEANGKUHAN

Tak bisa dipungkiri bahwa banyak dari para (keluarga) korban Peristiwa 1965-1966 di negeri ini yang masih menderita. Secara lahir maupun batin. Tak terkecuali di kota Palu – Sulawesi Tengah. Mereka terjerat dengan stigma yang membuatnya terpenjara di tengah kota. Mereka hidup, tapi seperti tak hidup karena Hak Asasi Manusia (HAM) mereka sejak lama terampas. Sebagian besar dari mereka tak lagi memikirkan politik. Baginya, urusan dasar HAM saja sudah sangat sulit mereka capai. Satu hal yang diperjuangkannya adalah rehabilitasi. Banyak di antara mereka yang sebenarnya bukan pelaku, tetapi terlanjur dihukum.

Langkah berani dilakukan oleh Rusdy Mastura, penulis buku ini. Ia lawan ‘keangkuhan’ sejarah dengan meminta maaf kepada keluarga korban pelanggaran HAM peristiwa 1965-1966. Inilah salah satu jalan rekonsiliasi. Dengan kekuasaannya sebagai Walikota (2005-2015), Rusdy mengambil sejumlah kebijakan hukum yang dapat mengangkat harkat dan martabat mereka sejajar sebagai sesama manusia. Dialah satu-satunya pemimpin politik di Indonesia dari mulai Presiden hingga bupati yang melakukan langkah kemanusian seperti ini. Tak heran kalau sejumlah pihak memberikan apresiasi.

Apresiasi diantaranya datang dari Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH Pakar Hukum ?Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2008). Menurut Jimly: “Orang seperti Pak Rusdy Mastura ini harus didukung, harus diberi penghargaan. Tetapi yang penting adalah dukungan politik & moral. (Kebijakan dia) Jangan disalahkan, tapi diberi penghargaan”.

Sementara Prof Dr Saparinah Sadli, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, 1998-2004) yang juga salah seorang pendiri Pusat Studi Kajian Wanita UI mengatakan, “Yang menarik dari Pak Walikota ini adalah, bagaimana proses hingga akhirnya beliau mengambil keputusan tegas melakukan permohonan maaf kepada korban peristiwa pelanggaran berat HAM ini. Saya pikir pemimpin lain bisa meniru langkah seperti yang dilakukan oleh Walikota Palu ini”

Sebagai Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis mengatakanl “Sebagai Walikota, Rusdy Mastura telah membuka jalah baru dari kebuntuhahan yang berlangsung hampir 13 tahun dalam penyelessian pelanggaran berat HAM masa lalu. Langkah ini dapat kita jadikan sebagai jalan untuk mendorong komitmen nasional”

Buku ini mengisahkan bagaimana Cudi, panggilan akrab Rusdy Mastura berusaha mengentaskan kemiskinan di Palu, dimana sebagian dari mereka adalah para keluarga korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965-1966. Menurutnya, jika tidak ada bingkai politik, Cudi yakin banyak masyarakat sekitar yang mau peduli kepada mereka dan membantunya terangkat dari kemiskinan. Akan tetapi, karena ada stigma membabi buta, siapa yang dekat dengannya akan ketularan rempahan stigmanya, maka muncul ketakutan. Siapa pun yang mendekatinya (menolongnya) takut dianggap komunis, dan sebagainya. Sudah banyak buktinya, sampai lahir istilah “Komunis Gaya Baru” untuk mereka yang berusaha “menolong”. Mengenaskan. Nah, untuk menghilangkan itu, Cudi melakukan langkah yang cederung “berani”.

Cudi mengaku dirinya bukan pahlawan. Karena Ia sadar bahwa yang memperjuangkan ini bukan Ia seorang diri. Mereka datang dan bicara diawali di forum-forum terbatas. Lalu muncul keberanian, didorong oleh inisiatif sejumlah LSM, bahwa untuk menunjukkan mereka benar, mereka harus berani bicara. Inilah yang kemudian meyakinkan saya bahwa demi HAM, permintaan maaf itu harus dilakukan. Bagaimana bentuknya, apa konsekuensinya dan bagaimana hasilnya? Buku ini mengupasnya secara tuntas dengan bahasa yang renyah, populer dan tidak membosankan.

Detail Buku

IDR 90.000,00

  • ISBN :
    978-602-70792-5-0
  • Jumlah Halaman :
    XIV + 332 Halaman
  • Tahun Terbit :
    2016
Play Store Google Book Beli Buku

Tentang Penulis

Rusdy Mastura