Sampai saat ini di masyarakat masih berkembang pemikiran bahwa seolah-olah di antara organ Perseroan Terbatas -- Direksi, Komisaris, Pemegang Saham -- ada yang lebih tinggi dari yang lain. Lebih jauh, ada pula pendapat yang mengatakan pemegang saham adalah segala-galanya. Di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terutama, pandangan seperti ini sering dikedepankan untuk menjelaskan terjadinya pengangkatan atau pemberhentian direksi BUMN yang oleh publik dinilai tidak logis atau tidak menuruti kaidah-kaidah yang mengedepankan profesionalisme.
Padahal, UU tentang Peseroan Terbatas No 40 tahun 2007 memiliki spirit yang mengedepankan kesetaraan organ-organ PT yang satu sama lain bekerja demi kepentingan perseroan. Kesetaraan itu semestinya berlaku dalam organ PT sehingga tidak ada salah satu yang lebih tinggi dari yang lain. Semuanya bekerja setara dengan arah yang sama, yaitu untuk memajukan perusahaan (asas best interest dan mengembankan fiduciary duties).
Nyatanya, agenda pergantian direksi BUMN ada kalanya mendatangkan kejutan-kejutan yang tidak dapat diterima nalar, lebih didorong oleh faktor-faktor kekuasaan dan like and dislike, sehingga ada pergantian direksi terjadi di tengah jalan padahal kinerja direksi yang bersangkutan tidak bermasalah. Oleh berbagai kalangan, hal ini dipandang sebagai bentuk kesewenang-wenangan pemegang saham sebagai salah satu organ PT.
Dalam buku ini, Penulis mengetengahkan argumen-argumen yang meyakinkan tentang perlunya mengedepankan kesetaraan organ-organ PT tersebut dengan membedah secara yuridis, filosofis dan praktis UU tentang Perseroan Terbatas, khususnya penjelasan pasal 105 ayat (1) UU tersebut, yang menyatakan RUPS dimungkinkan memberhentikan anggota Direksi menggunakan “alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS”.
Penulis berpendapat di tengah desakan agar perusahaan-perusahaan Indonesia, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mampu bersaing di pasar dalam dan luar negeri, tentu kesetaraan organ-organ dalam PT harus semakin mengemuka sementara kesewenang-wenangan pemegang saham harus dieliminasi. Pengangkatan dan pemberhentian direksi seharusnya berjalan melalui proses yang transparan, mengedepankan nilai-nilai (value) dan kompentensi (competencies) terbaik yang berlaku dalam dunia korporasi yang pada ujungnya disebut sebagai profesionalisme.
Buku ini didasarkan pada tesis penulis yang berjudul "Pemberhentian Direktur Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas," dalam rangka memenuhi persyaratan meraih gelar Magister Hukum bidang konsentrasi Magister Hukum Bisnis di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 2009.
Dalam tesis tersebut penulis mengkaji eksistensi Direktur PT sehubungan dengan hak eksklusif RUPS, perlindungan kepentingan hukum Direktur PT dalam UU No. 40 Tahun 2007, hubungan hukum antara Direktur PT dengan Pemegang Saham apabila terjadi benturan kepentingan hingga terjadi masalah pemberhentian Direktur PT dan dampak pemberhentian Direktur PT melalui RUPS Sirkuler khususnya pada Perseroan Tertutup.
Dalam buku ini, tesis tersebut dipertajam dan diperkaya dengan menggambarkan bagaimana fenomena power (kekuasaan) memberi warna dalam pemberhentian dan pengangkatan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Power bukanlah bersifat negatif. Bahkan power juga sangat dibutuhkan, namun pada saat yang sama, penulis mengetengahkan argumen bahwa Nilai-nilai (Values) dan Competencies (Kompetensi) harus dikedepankan sebagai upaya menetralisir turbulensi, benturan, maupun kesewenang-wenangan yang mungkin terjadi antara organ yang satu dengan organ lain PT.
Dalam buku ini penulis dengan tegas mengemukakan sikap bahwa Direksi BUMN harus dibebaskan dari berbagai tanggung jawab di luar kompetensi inti (core competencies). Direksi merupakan organ korporasi1 yang setara dengan organ korporasi lainnya, sehingga Direksi harus memiliki pendirian yang teguh manakala ada tekanan untuk mengambil keputusan di luar atau bahkan melenceng dari tujuan perusahaan.
Oleh karena itu value and competencies sangat penting. Menghadapi berbagai tekanan, direksi harus pandai-pandai, dalam pengertian bukan pandai-pandai yang secara sinistis dianggap sebagai menjilat, mendekat kepada penguasa atau memainkan kartu politik. Pandai-pandai yang penulis tekankan dalam value and competencies justru adalah mengetengahkan integritas dan kompetensi.
Buku ini layak dibaca oleh:
Sambutan :