Konflik vertikal yang terjadi di Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia selama hampir 30 ta- hun berakhir dengan perjanjian damai yang ditandatangani di Hel- sinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Perjanjian damai itu dike- nal dengan MoU Helsinki.
Salah satu buah dari MoU itu ialah lahirnya Undang-Undang No- mor 11 Tahun 2006, atau yang lebih dikenal dengan Undang-Un- dang Pemerintahan Aceh (UUPA). Di dalam UUPA inilah diatur banyak hal, di antaranya tentang pelaksanaan pemilihan kepala dae- rah (pilkada), partai lokal, serta peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Pelaksanaan pilkada pertama era damai atau pasca-MoU Helsinki pada 2006 berlangsung relatif lancar, walaupun, seperti di banyak daerah lain, terjadi sejumlah insiden. Pada Pilkada 2006 inilah, ber- dasarkan UUPA, Aceh dibolehkan–bahkan sebagai yang pertama– menampilkan kandidat yang berasal dari independen/perseorangan. Dan, ternyata, calon dari jalur perseorangan-lah yang keluar seba- gai pemenang dan menjadi gubernur. Dia adalah Irwandi Yusuf, seorang mantan anggota GAM.
Pada pilkada selanjutnya, merujuk UUPA, karena dengan ke-khu- sus-annya yang membolehkan berdirinya partai lokal di Aceh, maka calon independen tidak diperkenankan ada lagi. Menghadapi Pe- milihan Umum (Pemilu) 2009, berdirilah sejumlah partai lokal di Aceh. Satu di antaranya, yang menjadi pemenang dan mendapatkan kursi hampir 50% di DPRA, adalah partai lokal bernama Partai Aceh (PA). Sebagian besar pengurus dan anggota di DPRA adalah mantan petinggi dalam struktur GAM.
Menghadapi pilkada tahap kedua era damai, masalah mulai mun- cul ketika pada 30 Desember 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review Pasal 256 UUPA yang diajukan oleh empat warga Aceh. Inti permintaannya adalah mencabut Pasal 256 UUPA yang hanya membolehkan calon independen sekali (tahun 2006 saja). DPRA merasa dilangkahi oleh MK karena ketika me- ngabulkan permintaan tersebut tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Padahal, dalam UUPA Pasal 269 ayat (3) dinyatakan secara jelas ketentuan tersebut. Di sisi lain, keputusan MK bersifat final dan mengikat.
Dari sini kemudian terjadi tarik-menarik kekuatan. Komisi Inde- penden Pemilihan (KIP) Aceh dan Gubernur sebagai penanggung jawab pelaksana berkeinginan melaksanakan pilkada sesuai dengan jadwal dan merujuk pada keputusan MK. Sementara itu, DPRA ti- dak menyetujui. Akibatnya, DPRA “menyandera” peraturan daerah (qanun). KIP dan Gubernur pun tetap akan melaksanakan pilkada walau dengan payung hukum yang lama. PA menyatakan menolak, bahkan mengancam akan memboikot pilkada. Irwandi sebagai gu- bernur berniat maju kembali mencalonkan diri melalui jalur inde- penden/perseorangan.
Konflik regulasi dalam (persiapan) pelaksanaan, menjalar menjadi konflik antar-institusi antara eksekutif dan legislatif, konflik antar- elite, hingga konflik horizontal antar-pendukung. Namun, jika dili- hat bahwa mereka yang ada dalam tarik-menarik ini adalah sesama mantan GAM, maka boleh dibilang yang terjadi adalah konflik GAM versus GAM. Akibatnya, pecah insiden kekerasan yang me- nyebabkan belasan orang tewas. Belum lagi kerugian materiil dan moril yang sulit untuk dihitung. Perhatian nasional, bahkan in- ternasional, pun mulai tertuju ke Aceh. Perdamaian Aceh menjadi “terancam”.
Pemerintah pusat dan para pemangku kepentingan perdamaian Aceh “mensyaratkan” PA harus ikut dalam kontes Pilkada Aceh guna berjalannya pemerintahan daerah Aceh selama lima tahun ke depan. Pemerintahan yang efektif bisa dihasilkan lewat pemilih- an umum kepala daerah (pemilukada) yang diikuti oleh segenap kekuatan politik yang riil, yang ada di Aceh. Upaya mengubah sikap PA, sebagai sebuah kekuatan politik terbesar di Aceh, yang menolak (bahkan mengancam akan memboikot) supaya menerima pilkada merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Dan akhirnya, pada 20 Januari 2012, PA mendaftarkan diri ikut pilkada. Pada 7 Maret 2012, KIP menyatakan calon dari PA lolos verifikasi