Peluncuran Buku “It Goes Without Saying” karya Dr. Prasetio (Dirut Peruri dan Dosen Pascasarjana Hukum UAI)

Kamis, 07 Januari 2016

Jakarta, 26 Januari. Setelah menerbitkan buku pertamanya berjudul, Dilema BUMN, Benturan Penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN (2014), Prasetio kembali menuliskan pengalaman, pengetahuan dan tips-nya bagi para eksekutif di BUMN khususnya dan bagi peminat serta pemerhati manajemen risiko. Buku tersebut berjudul; It Goes Without Saying, Pengalaman Membangun Risiko Melekat di BUMN” (Desember 2015).

Diluncurkan di Universitas Al Azhar Indonesia, pada 26 Januari 2016, dihadapan ratusan peserta yang hadir termasuk sejumlah menteri, Menteri Perhubungan Bapak Ignasius Jonan, Kementerian Komunikasi dan Informatika Bapak Rudiantara, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bapak Achsanul Qosasi, Ketua YPI Al Azhar Bapak H. Muhammad Suhadi, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Bapak Ahmad H. Lubis dan pemerhati manajemen risiko, Prasetio mengungkapkan bahwa buku ini merupakan himpunan catatan dan pemikiran dirinya pada saat menjadi bagian dari upaya besar membangun budaya sadar risiko di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tempatnya ia melakukan pengabdian.

“Ini adalah catatan dan pemikiran saya di lapangan sebagai eksekutif di tiga BUMN. Baik yang sudah lalu, maupun saat ini. Buku ini saya tuangkan dengan cara yang berbeda diantara buku-buku teks manajemen risiko yang ada di pasar. Buku ini menceritakan pengalaman membangun sedari “nol” manajemen risiko di Telkom saat menjadi Direktur Compliance & Risk Management (2007-2012), dan dilanjutkan sebagai Direktur Utama di Perum Percetakan Uang RI (Peruri) 2012-saat ini”, ujar Pras, panggilan akrabnya.

Dikatakan Pras, di Indonesia, akhir-akhir ini manajemen risiko diakui sangat penting dalam praktik bisnis. Namun, faktanya bidang ini belum dipandang sebagai kebutuhan mendasar. Mengutip Survei yang dilakukan AON Global Enterprise Risk Management pada 2010,  level penerapan manajemen risiko oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia masih terbilang rendah dibanding negara lain. Dari lima tingkat level manajemen risiko, Indonesia rata-rata masih pada level 1 dan 2.

Buku ini menjadi menarik karena me-riview  tentang terungkapnya apa yang dikenal sebagai Skandal Enron di Amerika Serikat (2001) yang merupakan salah satu momentum yang mengubah pandangan dunia bisnis terhadap pentingnya manajemen risiko.  Skandal Enron memberi kesadaran baru tentang penting dan mendesaknya manajemen risiko pelaporan keuangan. Kesadaran itu meluas tak hanya di Negara Paman Sam, tetapi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

“Telkom sebagai BUMN, yang multilisting, termasuk di Bursa Saham New York (New York Stock Exchange), memerlukan kultur risiko untuk menjaga dan memastikan tata kelola (governance) berjalan baik. Ini bukan hanya untuk mencegah terulangnya pengalaman Enron di perusahaan milik negara, melainkan juga sebagai bagian dari langkah Telkom menjadi perusahaan kelas dunia (world class company),” tambahnya.

Dalam testimoni terhadap buku ini, Arief Yahya kini Menteri Pariwisata RI dan pernah menjadi Direktur Utama Telkom periode 2012-2014 mengungkapkan bahwa beberapa pengambil keputusan ada yang lebih fokus pada return, hasilnya bagus untuk jangka pendek. Beberapa yang lain terpaku pada risk, sehingga terkesan lambat, padahal dalam dunia bisnis saat ini, kata Arief, kecepatan merupakan strategi utama. “Seharusnya keduanya dilakukan secara proporsional, ada return, ada risk. Percayalah keputusan yang diambil setelah mempertimbangkan return dan risk akan menciptakan nilai yang lebih tinggi dan lebih berkesinambungan untuk jangka panjang, tanpa harus mengalami kejutan yang bisa menghancurkan bisnis karena ketidakpatuhan (incompliance),” tuturnya dengan menyisipkan pesan bahwa dirinya sebagai Direktur Enterprise & Wholesale Telkom Indonesia saat itu merasa beruntung dan merasakan ada warna serta nuansa yang berbeda dengan hadirnya Direktorat Compliance & Risk Management yang pernah dipimpin oleh penulis buku ini.

Dikatakan Pras, didalam mengungkapkan isi buku ini, dirinya berusaha dengan gamblang dan sepopuler mungkin mengetengahkan bagaimana proses transformasi bisnis berlangsung agar terbangun kesadaran akan risiko. Dan untuk mencapai hal itu, dibutuhkan energi ‘pelari marathon’, namun dengan kecepatan pelari sprint. Dalam berbagai proses, menurut Pras, proses transformasi itu seolah melakukan rekayasa ulang, reengineering, seperti menulis di kertas putih yang kosong untuk memulai segala sesuatunya dari awal.

“Dari pengalaman saya selama lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam bidang manajemen risiko, saya ingin menegaskan bahwa kunci manajemen risiko adalah taat dan disiplin pada proses. Membangun budaya sadar risiko itu, harus dihindari gaya sosialisasi yang agresif, namun dijalankan dengan persuasi yang efektif sehingga budaya ini tidak dipandang sebagai ancaman bagi individu, kelompok, ataupun organisasi perusahaan. Dan pada gilirannya, budaya sadar risiko itu dapat berjalan sendiri, alias It Goes Without Saying.


Sumber Artikel : Uai.ac.id

FeedBack