Di masa lalu, pekerjaan intelijen banyak dilakukan untuk mencuri informasi dari musuh atau pesaing. Selama Perang Dingin pasca-Perang Dunia II, kegiatan intelijen antara Barat yang dimotori AS dan Timur yang dimotori Uni Soviet, pekerjaan intelijen banyak diasosiasikan sebagai kegiatan mencuri informasi tentang rencana rahasia musuh. Kedua belah pihak berargumentasi bahwa kegiatan itu untuk mengatasi serangan kejutan dari musuh. Setelah Perang Dingin berlalu, negara-negara di dunia menghadapi musuh berbeda yakni para non-state actor seperti teroris, kelompok kriminal dunia, kaum fanatik, dan berkembangnya jenis persenjataan baru yang begitu cepat. Ini yang kini memunculkan musuh-musuh invisible dengan tantangan yang berbeda.
Perkembangan teknologi yang disruptif mengubah tatanan intelijen. Di masa lalu, seorang intelijen tidak pernah muncul identitasnya. Gadget cangih menjadi senjatanya. Mereka selalu mengandalkan penipuan identitas untuk melindungi pekerjaannya. Sepanjang musuh tidak tahu siapa intelijen yang sedang bekerja, maka hasil pekerjaannya terjaga dengan baik.
Era kini, musuh dan kawan datang di ruangan yang sama, mungkin diketahui identitasnya, menggunakan teknologi dan perangkat yang sama, dan mungkin mengincar informasi yang sama, namun masing-masing tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Ia akan menggunakan informasi yang sama dan mengolahnya berdasarkan pikirannya bukan mengikuti saran algoritma mesin. Dalam hal ini, kecanggihan mesin (gadget) menjadi alat bukan penentu keputusan, karena keputusan berada dalam pikiran.
Kondisi inilah yang oleh penulis buku ini disebut sebagai “perang pikir”. Buku ini mengupas bagaimana keadaan di masa depan tentang manusia yang menggunakan pikirannya dengan bantuan teknologi Industry 4.0 (algoritma, artificial intelligence, augmented reality, robot, Internet of Things, dll), namun keputusannya tetap menggunakan sisi akal sehat, kecerdasan, nurani, kepekaan dan militansi untuk tujuan yang besar. Bukan menyerahkan keputusannya pada hasil olahan mesin atau teknologi semata.
Ini tantangan terbesar membangun karakter manusia yang berada dalam medan perang pikir untuk menjadi pemenang sejati.
***